Mungkin anda masih ingat kecelakaan pesawat Silkair di Palembang.
Berikut adalah kisah dibalik peristiwa tersebut. Kisah ini diceritakan Prof. Oetarjo Diran Ketya Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).
SilkAir Penerbangan 185 adalah layanan penerbangan komersial rutin maskapai penerbangan SilkAir dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia ke Bandara Changi, Singapura. Pada tanggal 19 Desember 1997, sekitar pukul 16:13 WIB, pesawat Boeing 737-300 yang melayani rute ini mengalami kecelakaan jatuh di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Seluruh 104 orang yang ada di dalamnya (97 penumpang dan 7 awak kabin) tewas, termasuk pilot Tsu Way Ming dari Singapura dan kopilot Duncan Ward dari Selandia Baru [Wikipedia].
Menurut teori atau dugaan, penyebab kecelakaan pesawat adalah aksi bunuh diri sang pilot. Benarkah?
The Untold Story
Saya ingin memberikan secuplik untold information tentang investigasi pesawat SilkAir.
Investigasi lapangan kami
rasakan cukup sulit karena pesawat jatuh ke dalam air Sungai Musi dengan
kecepatan tinggi dan daya maksimum (full power). Pesawat hancur
berkeping-keping dengan rata-rata kepingan berdimensi sekitar 50×50 cm²,
kecuali beberapa bagian seperti roda pendarat, mesin, dan lainnya. Kami
juga tidak menemukan bagian tubuh manusia yang besar: yang terbesar
adalah seukuran bahu, dan yang terkecil adalah ujung jari. Bagian itu
sulit untuk diidentifikasi.
Team Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tiba di lokasi
sekitar tiga jam setelah kejadian. Kami menumpang pesawat kalibrasi
Dirjen Perhubungan Udara. Kami tiba di lokasi menjelang Maghrib. Namun,
tidak banyak yang dapat kami dilakukan kecuali mempersiapkan tim
lapangan dan peralatan-peralatan menyelam. Kami juga mencari informasi
dari penduduk desa. Penduduk di pinggir sungai Musi menyatakan bahwa
pesawat meraung-raung kemudian jatuh ke dalam sungai.
Pukul 18:00 KNKT menerima telepon langsung dari tim penelitian
kecelakaan pesawat udara Singapura yang dipimpin oleh Ho See Hai (chief
investigator). Mereka minta izin untuk dapat segera datang melalui udara
ke Palembang dengan tujuan membantu kami. Tim singapura ini dipimpin
langsung Director General of Air Communication, Ministry of Transport
Singapore. Mereka tiba sekitar pukul 01:00 dini hari dengan menggunakan
dua Hercules dan satu Fokker F27 pengintai, dan dibekali perahu karet
(rubber dinghy), peralatan selam, dan lainnya.
Keesokan harinya Singapura mengirimkan dua helikopter pencari. Tim
Singapura hampir 90% adalah militer dari Royal Singaporean Defense
Forces. Mereka tidak menginap di hotel tetapi mendirikan tenda-tenda
untuk personilnya; yang tidur di hotel adalah yang dari sipil.
Pagi hari itu saya mendapat panggilan darurat dari Panglima TNI-AL yang
membawahi wilayah itu. Di lokasi, beliau langsung memarahi saya (sambil
tersenyum). Beliau bilang: “Siapa anda, berani-berani memasukkan anggota
militer luar negeri ke daerah militer NKRI??” Beliau tersenyum karena
ada banyak perwira TNI-AD dan AL di belakangnya.
Saya hanya bilang bahwa saya harus melakukan investigasi yang memerlukan
peralatan canggih, dan memerlukan banyak tenaga. Kemudian, saya balik
bertanya kepadanya: “Apa yang bapak akan lakukan dalam keadaan tertekan
seperti ini?”
Pembicaraan kami pun terhenti, dan saya sarapan bersama dengan beliau
dan staf. Beliau juga menyatakan akan membantu sepenuhnya dengan
tambahan pasukan dan peralatan.
Sementara itu staf KNKT sudah tiba di tempat kejadian sekitar pukul
06:00. Sekembalinya dari tempat kejadian, saya melakukan rapat tim
investigasi pertama untuk menentukan strategi pencarian fakta:
Investigasi menyelam ke dalam sungai dilakukan oleh Singaporean Naval Divers Team
Pencarian di darat (overland search) dilakukan oleh pasukan TNI-AD dan anggota KNKT
Beberapa helicopter TNI-AD dan pasukan dari Singapura bersama dengan Fokker F27 juga turut mencari fakta
Setelah melaksanakan strategi itu, pesawat SilkAir dapat kami temukan di
kedalaman 8-12 meter. Dan, ternyata Overland Team juga menemukan
kepingan-kepingan pesawat, antara lain rudder, yang terbuat dari
komposit.
Dua kotak hitam (black box) dapat ditemukan oleh tim Indonesia dan
Singapura setelah beberapa hari menyelam. Kotak hitam itu ditemukan
tengah hari. Yang menemukan adalah penyelam dari Indonesia. Dia tertawa
lebar karena menerima menerima arloji Breitling pribadi milik Laksamana
Rosyad Anwar yang sebelumnya berjanji akan memberikannya kepada siapa
saja yang dapat menemukan kedua kotak hitam tersebut.
Sore hari setelah penemuan
kotak hitam itu, saya berangkat ke Amerika Serikat dengan pesawat
Singapore Airlines. Saya pergi tanpa visa. National Transportation
Safety Board (NTSB) Amerika menjanjikan akan memberikan visa-on-arrival
setibanya di New York. Saat itu musim salju di AS. Namun, baju yang saya
bawa bukan baju musim dingin. Untungnya, Menteri Perhubungan RI
memberikan sejumlah dollar sehingga saya dapat membeli jaket hangat, dan
beberapa sweaters di Singapura.
Setibanya di New York, Ho See Hai dan saya diminta jangan turun dari
pesawat, sampai semua penumpang keluar. Ternyata kita berdua dengan
kedua kotak hitam diterbangkan ke kantor pusat NTSB di Washington, D.C.
dengan pesawat Federal Bureau of Investigation. Kami tiba di sana
kira-kira pukul 16:00. Dari sini, saya melihat ada indikasi pertama
bahwa pemerintah AS sangat tertarik dengan kasus kecelakaan B737 ini.
Tiba di NTSB pusat, saya langsung membicarakan program pembukaan.
Pembacaan kedua kotak hitam akan kita lakukan keesokan harinya. Kami
bertemu dengan Dr Jim Hall (Ketua NTSB) dan stafnya untuk membicarakan
rencana kerja selanjutnya. Waktu menunjukkan pukul 21:00.
Pagi harinya, sekitar jam 08:30, kami sudah ada di NTSB kembali, dan
ternyata staf NTSB sudah membuka kedua kotak hitam tadi. Ini tidak
sesuai dengan rencana yang disetujui bersama malam sebelumnya. Dari sini
juga, saya melihat ada indikasi bahwa NTSB menganggap isi kotak hitam
ini penting sekali. Setelah bertengkar mulut sebentar (karena NTSB
sebagai lembaga negara di mana pembuat pesawat berada hanyalah berperan
sebagai supporting team), dan mendengarkan argumentasi mereka, saya
akhirnya menentukan bahwa kita dapat meneruskan investigasi.
Setelah pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan staf laboratorium NTSB di
bawah pengawasan saya dan Ho See Hai (sebagai supporting team member
dari negara pemilik pesawat) mereka tidak menemukan data yang baik.
Katanya: “No useful data. The tape was damaged by the waters of the
river.”
Dua minggu lamanya staf NTSB mencoba untuk memperbaiki kondisi pita,
namun akhirnya hanya bagaian-bagian tertentu yang masih dapat terbaca,
baik informasi CVR (Cockpit Voice Recorder) maupun data FDR (Flight Data
Recorder).
Ketika melakukan analisis kecelakaan di Jakarta bersama tim dari
Singapura, USA, tim ahli dari ATSB (Australian Transportation Safety
Bureau) dan Inggris sebagai penasihat (yang saya minta membantu waktu
itu), diskusi hebat terjadi, dan tekanan NTSB yang mengarah pada
penentuan bahwa Kapten Tsu Way Ming bunuh diri dengan menewaskan 104
orang.
Saya kemudian mengusulkan untuk melakukan flight simulation untuk
membandingkan data sangat terbatas yang diperoleh dari CVR dan FDR
(readings and transcripts). Dan dari simulasi yang dilakukan di NTSB
(Washington), tim penerbang Indonesia, Singapura dan USA tidak menemukan
fakta bahwa ada kemungkinan malfunction dari komponen pesawat dan/atau
kegagalan struktur.
Belakangan diketahui bahwa simulasi tersebut ternyata tidak dilakukan
dalam engineering flight simulator, namun simulator biasa yang tidak
dapat diprogram untuk unusual and unnatural aircraft conditions (seperti
upside-down flight, unattached flows, very high nose ups). Dus,
simulasi untuk membandingkan flight path dan posisi pesawat dengan
menggunakan data yang diperoleh (ditambah dengan radar plots dari radar
Palembang) dianggap tidak punya kesimpulan, dan tidak dapat dijadikan
bukti, dan akhirnya sekedar jadi fakta yang tidak berguna.
Beberapa hari sebelum laporan
akhir KNKT akan disiarkan, saya menelpon Jim Hall. Saya mengatakan bahwa
dalam waktu dekat Menteri Perhubungan Indonesia akan mengumumkan hasil
investigasi kepada pihak-pihak yang terlibat.
Tepat satu hari sebelum laporan resmi KNKT disiarkan, ternyata NTSB
mengumumkan laporan NTSB sendiri yang menyatakan bahwa pesawat SilkAir
mengalami musibah karena Kapten Tsu Wai Ming bunuh diri dengan melakukan
deep dive (terjun bebas) ke Sungai Musi.
Dan inilah alasan-alasan Pilot Tsu Wai melakukan bunuh diri seperti yang ditulis di Wikipedia.
- Masalah keuangan keluarga, dimana ia dilaporkan mengalami kerugian dalam investasi keuangan, dan hutang tagihan kartu kreditnya yang lebih besar dari kemampuannya membayar. (terutama diakibatkan dari pengeluaran keluarganya yang lebih besar dari gajinya sebagai pilot).
- Kapten Tsu membeli polis asuransi beberapa hari sebelum kejadian (pada hari kecelakaan, jaminan perlindungan dari polisnya mulai berlaku), sehingga ia melakukan tindakan (menjatuhkan pesawat) tersebut untuk mendapatkan uang santunan asuransi (sebagai pengganti kerugian investasinya sebelumnya).
- Ia juga dilaporkan beberapa kali mendapat teguran disiplin dari SilkAir, termasuk satu tindakan yang berkaitan dengan memanipulasi sekring dari perekam suara kokpit (CVR),
- Laporan lain mengatakan ia juga berkonflik dengan Kopilot Ward dan beberapa rekannya yang meragukan kemampuannya memimpin sebagai Kapten Pilot.
- Kapten Tsu adalah mantan pilot dan instruktur A-4 Skyhawk Angkatan Udara Singapura. Ia memiliki pengalaman dengan pesawat tersebut selama 20 tahun. Selama karirnya, ia pernah mengalami musibah, yaitu kehilangan 4 teman satu skuadronnya ketika latihan terbang rutin, setahun sebelum kecelakaan. Dampak psikologis dari musibah ini diduga mengubah kepribadian Tsu yang berujung pada kecelakaan pesawat SilkAir tersebut.
Sedangkan laporan resmi KNKT yang rencananya akan disiarkan keesokan
harinya menyatakan bahwa data, informasi dan fakta tidak memungkinkan
membuat kesimpulan apa pun tentang penyebab kecelakaan pesawat tadi.
Saya mengusulkan agar Menteri Perhubungan untuk menunda pengumuman resmi
KNKT satu hari karena KNKT tidak ingin membuat kontroversi baru. Saya
juga memberikan catatan bahwa seluruh laporan NTSB dijadikan lampiran
pada laporan resmi KNKT agar khalayak umum mengetahui dan menilai
sendiri argumentasi NTSB tadi.
Dengan kejadian tadi, tim investigasi SilkAir dari KNKT baru menyadari
bahwa selama berbulan-bulan diskusi, berdebat, bertengkar di Jakarta,
Singapura dan AS, pihak NTSB sama sekali tidak pernah memberikan
informasi tentang terjadinya dua kecelakaan dan satu insiden yang
dialami Boeing 737 sebelumnya. B737 mengalami kegagalan rudder PCU yang
mengakibatkan terkuncinya rudder (rudder lock), sehingga pesawat masuk
dalam terjun bebas dengan trajektori spiral sampai menabrak perairan
Musi.
Gambar Diagram rudder CPU
Ini adalah kesalahan KNKT karena tidak menemukan informasi tentang kedua
kecelakaan Boeing 737 dan satu insiden yang telah terjadi di AS
sebelumnya.
Pertanyaan yang juga penting apakah pihak NTSB sengaja menutup-nutupi kegagalan rudder PCU tersebut agar masyarakat tidak menuntut Boeing?
Ini mungkin karena sikap bisnis orang Amerika: “Don’t offer information
if not asked. And if asked, tell the truth but not the whole”. Apapun
alasan untuk tidak mengakui adanya track record yang tidak baik yang
mengakibatkan puluhan awak penumpang tewas sangat mebahayakan
tramsportasi. Pada saat kejadian, kurang lebih empat ribu pesawat tipe
B737 terbang dan sekitar tiap 2 – 4 menit ada satu pergerakan pesawat di
seluruh dunia. Catat pula bahwa pesawat Silkair yang nahas itu baru 12
bulan beroperasi. Bisakah terjadi salah desain, atau kesalahan
manufaktur?
By the way, KNKT memeriksa catatan PCU unit sampai ke Parker-Hannifin
manufacturing plant dan menemukan bahwa PCU Unit tersebut ternyata tidak
lulus cek kualitas meskipun sudah diperbaiki sebelum dipasang di
pesawat nahas tadi. Greed or bad ethics? I will not judge.
[sumber : wikipedia;aerospaceitb.org]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar